Studi Kasus Bimbingan Konseling - Studi Kasus Bimbingan Konseling
Studi Kasus Bimbingan Konseling
2.1 Pengertian Kasus
dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kasus berarti soal atau perkara atau keadaan
sebenarnya suatu urusan. Istilah kasus itu dihubungkan dengan seseorang,
berarti pada seseorang yang dimaksudkan itu terdapat soal atau perkara tertentu.
Dalam bimbingan
dan penyuluhan pemakaian kata kasus tidak menjurus kepada pengertian-pengertian
tentang soal-soal ataupun perkara-perkara yang berkaitan dengan urusan kriminal
atau perdata, urusan hukum atau polisi, atau urusan yang bersangkut paut dengan
pihak-pihak yang berwajib. Kata kasus yang dipakai dalam bimbingan dan
penyuluhan sekedar menunjukkan bahwa ada sesuatu pemasalahan tertentu pada diri
seseorang yang perlu mendapatkan perhatian dan pemecahan demi kebaikan untuk
diri yang bersangkutan.
Jika kasus tidak
segera ditangani, dikhawatirkan justru semakin merugikan individu yang
bersangkutan, kasus perlu ditangani dengan secara langsung melibatkan individu
itu sendiri dan orang-orang yang dapat membantu pemecahan masalahnya.
Keterlibatan orang lain bisa secara langsung atau tidak memecahkan masalah.
Keterlibatan orang lain juga harus diketahui dan seizin individu yang
bersangkutan.
Untuk mengetahui seluk beluk sebuah kasus lebih jauh maka diperlukan pemahaman yang lebih mendalam. Karena bisa jadi
permasalahan yang terkandung dalam sebuah kasus seperti fenomena gunung es yang
terapung dilautan, dimana yang tampak di permukaan air hanya sedikit saja,
padahal bagian yang berada di permukaan laut besarnya sukar diukur. Dalam rangka
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai sebuah kasus perlu dilakukan
penjelajahan yang luas dan intensif.
2.2 Pemahaman Terhadap Kasus (Pokok-pokok Masalah yang Menjadi Perhatian
Penyuluh Sosial Keagamaan)
Bagi para da'i/muballigh yang terbiasa "njajahdesomilangkori",
yang berarti sering keluar masuk daerah pedesaan untukmenyampaikan
pesan-pesan/siraman ruhani dan pesan pembangunan bagi peningkatan kualitas
hidup lahiriah batiniahwarga desa, akan mendapat suatu kenyataan, betapa cukupbanyak
masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial keagamaanyang melilit mereka, yang
pada gilirannya merupakan kendalabagi sosialisasi peningkatan kualitas hidup
dan sosialisasi butir-butir ajaran agama (Islam) di tengah-tengah masyarakat.
Dengan mengidentifikasi problem-problem
sosial keagamaanyang ada, diharapkan para tokoh agama/masyarakat akanmampu
mencari jalan keluar, baik secara internal maupuneksternal, jangka pendek,
menengah maupun panjang.Tulisan berikut akan mencoba untuk merangkum
beberapapermasalahan sosial keagamaan di pedesaan secara
"sepintas",dengan harapan dapat dijadikan bahan awal untuk
diskusi-dialog bagi para penyuluh, da'i, muballigh, para aktivis muda,pemuka
agama-masyarakat dan para peminat masalah pe-desaan, sehingga daripadanya dapat
dicari formula yang tepatuntuk mendorong secara proaktif agar masyarakat desa
semakinmaju dalam kehidupan sosial keagamaan dalam arti yangseluas-luasnya.
Oleh karena beberapa masalah tersebut di-rangkum secara umum, maka, apabila
diterapkan pada suatuwilayah/desa, akan berbeda-beda. Oleh karena
kehidupanmasyarakat itu sangat kompleks, dimana masalah yang
satuberbaur/menyatu dengan masalah yang lain, saling pengaruhmempengaruhi
identifikasi masalah yang akan dirangkummungkin akan lebih banyak masalah
"keagamaan" yang terjadidi tengah komunitas "sosial" di
pedesaan.
A. Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Relatif Belum Baik
Kehidupan sosial
ekonomi masyarakat desa relatif belum baik dan pendapatannya terbatas guna mencukupi
biaya hidup minimal. Apabila dibandingkan dengan kondisi kehidupan pada dekade 60-an,
keadaan sekarang relatif memang lebih baik. Namun demikian, apabila dibandingkan
dengan kondisi kehidupan masyarakat kota, di bidang "pendidikan", rasanya
sangat ketinggalan. Dengan hasil pertanian yang mereka usahakan, asset untuk mendapatkan
pendidikan tingkat "tinggi" relatif sulit mereka capai. Pada era 2000-an
ini, dalam era global, dalam tekanan
harga BBM di tingkat internasional, ke- hidupan ekonomi masyarakat desa, jatuh terjerembab.
Akses untuk berkembang di bidang ekonomi, semakin menurun.
B. Pemimpin Agama Pada Tingkat Lokal
Kurangnya pemimpin agama pada tingkat lokal, dan yang
dimaksud pemimpin agama disini adalah pemuka-pemuka agama yang mampu membimbing
masyarakat dalam hidup beragama sehari-hari yang menyatu dengan yang dibimbing,
pemuka agama yang mampu menjabarkan butir-butir ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari, memimpin kegiatan-kegiatan ritual agama. Kurangnya pemimpin agama
ini disebabkan kurangnya proses kaderisasi, kurangnya kaum muda yang tekun
mempelajari/mendalami ajaran agama maupun lingkungan yang kurang kondisuf bagi
munculnya suasana hidup yang agamis.
Masyarakat yang banyak mentolerir berlangsungnya
berbagai bentuk kemaksiatan di kalangankaum mudaatau di seluruh lapisan
masyarakat pada umumnya, akanmenjadi faktor penyebab utama "pemimpjn
agama" tidak akanlahir. Ada sementara pihak yang berpendapat, bahwa
padasuatu saat, secara alami, "pemimpin agama" akan lahir
dengansendirinya, yang akan secara tekun membimbing masyarakatnya / umatnya ke
arah kehidupan yang lebih baik. Pen-dapat tersebut "mungkin" ada juga
benarnya, tetapi, tentudalam jumlah yang "sangat" terbatas dan
bersifat insidental,padahal, suatu kehidupan bersifat kontinyu,
berkesinambungandan mestiny a menuju ke arah yang lebih baik, sehingga
dibutuhkan pemimpin, penyuluh dan pembimbing dalam jumlah yangcukup. Pemimpin
yang lahir secara alami jelas sangat terbatasjumlahnya dan sangat tidak
mencukupi bagi pembinaan umat,apalagi pemimpin agama dalam arti yang luas.
Pemimpin agama yang ketersediaannya
direncanakan,"direkayasa", dengan dibekali dengan banyak ilmu,
diharapkankelak akan mampu menjawab berbagai tantangan zaman,apalagi apabila
dilengkapi dengan berbagai ilmu bantu sesuaidengan perkembangan masyarakat yang
maju dengan pesat.Di wilayah pedesaan yang mata pencaharian penduduknyabersifat
homogen (petani/peternak, nelayan, buruh tani dll),dan waktunya banyak disita
untuk kegiatan-kegiatan operasi-onal mencari sumber hidup, nuansa kehidupan
beragama tidakakan nampak manakala tidak tersedia pemimpin agama ditingkat
lokal. Masyarakat desa tidak akan mendapat sentuhan/siraman ruhani, hidupnya
hanya akan berkisar bekerja, istirahat,makan, tidur dan bekerja lagi. Sangat
miskin nuansa agama.
C. Sarana
Ibadah
Kurangnya
Sarana Ibadah, Jumlah sarana ibadah bagi kaum muslimin di pedesaan nampak
semakin tercukupi pada kurun waktu 25 - 30 tahun terakhir, semasa Orde Baru,
meskipun dari segi kualitas belum memadai. Itupun baru terbatas pada sarana
phisik.
Sarana ibadah yang sudah tersedia di
suatu wilayah/desa, baru dapat berfungsi secara minimal. Mengapa? Sebagai
contoh, apabila suatu masjid sudah berdiri, maka, sarana untuk: tempat
wudlu/MCK, ruang ta'mir masjd, gudang, ruangan TPA/TKA, tempat sandal, tempat
garasi sepeda, persediaan air/sumur, tikar untuk shalat, peralatan almari untuk
tempat inventaris masjid, sound system, perpustakaan dan Iain-lain, masih belum
ada/memadai dan merupakan agenda masalah yang bersifat klasik. Hal ini akan
semakin menarik untuk dikaji manakala kita mengambil contoh wilayah pedesaan yang
terpencil. Kalaupun kita dapati sarana ibadah tersebut sudah nampak lengkap,
persoalan berikutnya adalah, sudahkah sarana tersebut dapat berfungsi secara
maksimal ? Kendalanya terletak pada sektor Sumber Daya Manusia (SDM), baik
pihak pengurus Ta'mir Masjid, Jamaah maupun masyarakatnya. Kelemahan sarana
ibadah di pedesaan umumnya kurang terawatnya/terpeliharanya sarana yang
dimiliki, baik menyangkut usaha pemeliharaan kebersihan, keamanan barang,
perawatan barang inventaris, maupun penggunaan barang secara maksimal. Sarana
ibadah nampak kurang terawat, tidak sebagaimana mereka "pada umumnya"
merawat rumahnya sendiri.
Untuk menanggulangi persoalan ini,
perlu diciptakantumbuhnya suatu kesadaran secara berangsur-angsur di semualapisan
kaum muslimin agar semakin gemar beramal salehmelalui pemeliharaan sarana
ibadah dengan cara yang persuasifdan contoh-contoh yang konkrit.Perlu
ditumbuhkan kepedulian masyarakat sekitar untukmemelihara sarana ibadah
tersebut, gemar memakmurkanmasjid, memanfaatkannya bagi pembinaan anak-anak,
remaja,orang tua dan Iain-lain. Untuk itu sebagai upaya menjaga fungsi masjid,
perlu adanya penajaman mengenai kondisi sumberdaya manusia di dalamnya dengan
melihat realitas manajemen yang dilakukan, dan analisis terhadap aset yang
dimiliki. Bagi pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama Republik Indonesia
perlu melakukan sebuah bimbingan dan dorongan agar hambatan-hambatan dalam
proses pemberdayaan masyarakat dan pengembangan masjid dapat diatasi dengan
baik.
D. Wadah/lembaga
yang menangani kegiatan keagamaan secara teratur
Kurangnya Wadah/lembaga yang
menangani kegiatan keagamaan secara teratur, terutama yang menyangkut dengan kegiatan
pendidikan agama bagi anak-anak. Dengan semakin kurangnya perhatian bagi tumbuh
dan berkembangnya ruhani anak-anak, kelak, akan kita dapati generasi muda yang
akan acuh terhadap kehidupan beragama. Kurangnya
wadah dankegiatan beragama dapat ditengarai dengan: kurangnya
kegiatan/frekwensi baca Al-Qur'an bagi anak-anak sebelum/sesudah shalatMaghrib
di serambi masjid atau di rumah-rumahpenduduk/guru ngaji, kurang giatnya
kegiatan TKA-TPA(kalau sudah berdiri di suatu masjid), tidak aktifnya
majlista'lim, kalau sudah ada kegiatan pengajian, sifatnya "rutin"
dantidak ada target apa-apa. Demikian pula munculnya suatukenyataan "agama
tidak terrefleksi dalam kenyataan hidupmereka sehari-hari". Tidak
berlebih-lebihan manakala dikatakan bahwa masyarakat sekarang, secara ideal,
semakin jauhdari cita ideal ajaran agamanya, karena mereka gampang melakukan
praktek hidup yang kurang terpuji.
E. Kurang
nampaknya suasana hidup beragama di masyarakat pedesaan
Setiap
aktivitas manusia dalam bidang apapun, sepanjangdiniatkan untuk berbakti kepada
kepentingan orang banyak danbagi pengabdian kepada Allah SWT, disebut ibadah.
Kegiatanhidup sehari-hari seperti: bekerja di ladang/-sawah/kebun,belajar di
sekolah mengajar, bekerja di pasar, bekerja di terminal, menggembala ternak
mencari rumput/ kayu bakar dan segalamacam kegiatan keseharian, juga kegiatan
ubudiyah di setiapwaktu, memang selayaknya masuk dalam ruang lingkupibadah.
Secara
khusus, suasana hidup beragama pada masyarakatpedesaan nampak, manakala
kegiatan-kegiatan yang bernuansaubudiyah (vertikal) secara massal banyak
dilakukan masyarakat. Kegiatan shalat berjamaah, menghadiri majlis taklim,
peringatan hari-hari besar Islam yang dilengkapi denganberbagai jenis
perlombaan, suasana silaturahmi antar wargayang intens, kehidupan yang aman
tenteram, merupakan cirikehidupan yang agamis dan Islami.
Secara
sederhana, kiranya, dapat kita katakan bahwasuasana kehidupan di pedesaan
seperti di atas, semakin tidakbanyak kita saksikan. Mungkin, kendalanya mernang
banyak.Kehidupan pada masa sekarang yang cenderung semakinmaterialistik
hedonistik dan permissifmus, baik di pedesaan danapalagi di perkotaan,
mendorong orang untuk sibuk bekerjadengan tidak menyeimbangkan kegiatan dirinya
denganmasalah ruhani/ibadah. Norma sosial, adat dan agama, dalam penerapannya,
bergeser sedikit demi sedikit, semakin longgar. Kurangnya masyarakat giat
shalat berjamaah di masjid, mudahnya meninggalkan shalat fardlu, sepinya masjid/mushalla
(dengan jamaah yang minim pada saat sudah masuk waktu shalat), kurang
berfungsinya masjid/mushalla bagi kegiatan anak-anak/remaja masjid hampir
sepanjang tahun (kecuali bulan puasa), merupakan salah satu indikator suasana
hidup beragama yang kurang makmur.
Banyaknya
tayangan media elektronika dengan berbagaimacam hiburan yang menarik dan
bervariasi, (dan sering kebablasan) ikut memberikan andil bagi semakin kurangnyaaktivitas
keagamaan. Suatu peristiwa yang cukup unik ataumungkin cukup menggelitik,
adalah bergesernya acarapengajian/-yasinan/tahlilan/khatmilQur'an yang
disesuaikandengan "menunggu selesainya tayangan" acara televisi
yangmenarik, seperti ketoprak mataram, mbangun desa/dagelan,olahraga dan
semacamnya. Kompromi semacam ini, meskipundalam jangka pendek merupakan jalan
tengah yang salingmenguntungkan, tetapi pada tahap-tahap berikutnya,
akanmengurangi "bobot" kegiatan keagamaan. Tidak mustahil,makin lama
masyarakat akan memandang lebih pentingmenikmati hiburan daripada mengikuti
"khatmil Qur'an".Di daerah/desa yang sejak dulu sudah terbiasa
dengankegiatan-kegiatan keagamaan (yang dapat disebut dengan"kaum
putihan"), contoh/gambaran diatas, rasanya, tidak perluterjadi/tidak perlu
dirisaukan. Perlu kiranya penulis memberigambaran sedikit mengenai suasana
tempat ibadah di "perkotaan", agar supaya kita mampu berfikir, bahwa
betapapun suasana di pedesaan sudah agak mengkhawatirkan, tetapi masihtetap
agak "lumayan". Di perkotaan sekarang ini gampang kitajumpai suatu
kenyataan yang mempriharinkan: di awal malamhari, suasana di masjid sudah
semakin sepi, lampu-lampunyasudah mulai dipadamkan, akan tetapi kehidupan malam
ditempat-tempat hiburan, semacam bola sodok, disko dll, semakin hidup dan
ramai, dan bahkan semakin malam, semakin larut,suasana semakin ramai oleh para
pengunjung. Selain klab malamdll., yang ini berfungsi sebagai hiburan, justru
juga menyuburkan tindak yang menjurus pada "kemaksiatan"?. Ini merupakan
tantangan yang tidak mudah diberikan jawabannya.
F. Banyaknya
berbagai bentuk tindakan a-moral
Merupakan
keprihatinan kita bersama, sebagaimana sudah disinggung di muka, masyarakat
kita (di pedesaan maupun terutama di perkotaan) semakin permisif terhadap
tindakan tindakan yang "negatif". Tindakan kejahatan yang di desa dikenal
dengan istilah mo-limo, yaitu main (berjudi), minum (minum-minuman
keras), maling (mencuri), madat (menghisap narkotika/ganja dan sebangsanya) dan
madon (tindak asusila/berzinah/main perempuan), mulai dari kadar yang kecil
masih biasa dikenal/dilakukan oleh masyarakat desa.
Hal
ini disebabkan oleh longgarnya norma-norma susila/sosial/adat/agama untuk dapat
dilanggar, dan betapa masyarakat gampang memaafkan/-mentolerir tindakan negatif
tersebut. Suasana mengedepankan/mementingkan segi-segi kebendaan
("ekonomi") berakibat mengesampingkan aspek moral spiritual.
Untuk
menanggulangi persoalan ini, harus ditumbuhkansuatu kesadaran bersama bahwa
kehidupan masyarakat harusseimbang antara kebutuhan lahiriah dan batiniah, dan
agarsupaya tidak terbiasa terjadi pelanggaran, pelanggaran secaraterus menerus
dari bentuk yang kecil ke arah yang lebih besar,seluruh anggota masyarakat,
dari yang paling kecil sampai kepada para pemimpinnya, harus sadar untuk selalu
"menangkal"atau "mencegah" setiap bentuk tindakan yang
negatif yang terjadi di lingkungannya. Pemuka masyarakat harus
semakinmenyadari, bahwa mereka selalu dijadikan suri tauladan bagimasyarakat
lapisan bawah.
G. Kurangnya
contoh pengamalan ajaran agama dariPemimpin Formal.
Kita sadari bersama bahwa masyarakat
kita sangat bersifat gampang mencontoh apa yang dilakukan oleh
pemukanya/pemimpinnya. Mereka cenderung meniru apa yang dikerjakanoleh
pemimpinnya, dengan kurang kritis. Sifat paternalistikseperti itulah yang
menjadi faktor penyebab kita lambat maju.Pemimpin formal yang ada di pedesaan,
umumnya, padamasa kecil mereka, sebagaimana umumnya dunia kanak-kanakpada masa
itu, juga kurang mendapatkan pengalaman hidupberagama secara utuh. Mereka belum
banyak belajar dan mendapatkan pengalaman hidup beragama. Sehingga memasukimasa
remaja dan kelak dewasa, tidak mendapatkan pengalamanhidup beragama secara
memadai, kecuali sedikit yang secarakhusus masuk madrasah atau dunia pesantren.
Untuk yangterakhir ini, umumnya, justru secara pro aktif ingin merubahsuasana
dan lingkungan desanya agar lebih agamis. Dan usahayang demikian ini, rasanya
wajar-wajar saja. Sifat paternalistikmasyarakat desa tidak akan gampang
berubah/bergeser, sepanjang tingkat pendidikannya masih tetap 'rendah";
merekaakan tetap rasional dalam menghadapi berbagai
persoalan,termasukdidalamnyameninggalkan kebiasaan yang didapatdari pemimpinnya
yang kurang baik. Kebiasaan masyarakatdesa bermain judi kecil-kecilan misalnya,
akan banyak dipengaruhi oleh perilaku pemimpinnya terhadap judi.
Apabilamentolerir judi kecil-kecilan sebagai: alat begadang malam,sekedar
hiburan/iseng, teman siskamling, penyegaran murahdll, maka lambat laun kegiatan
tersebut akan merupakankebiasaan yang sulit dihilangkan.
Demikianlah beberapa masalah sosial
keagamaan, yangmerupakan sebagian dari banyak sekali masalah yang
perlumendapatkan perhatian kita bersama. Mudah-mudahan bermanfaat.
2.3
Pendalaman
Tentang Penanganan Terhadap Kasus (masalah)
Proses
penanganan terhadap kasus dapat dilakukan melalui tiga tahap:
1. Tahap pertama, penyuluh membantu
klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia.
Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima.
Penyuluh mengajarkan mereka bercermin pada eksistensi mereka dan meneliti peran
mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka.
2. Pada tahap kedua, klien didorong
agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dari system
mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi
nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap
pantas.
3. Tahap ketiga berfokus pada untuk
bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Klien di dorong
untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan
menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupanya yang memiliki tujuan.
Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien
sadar akan pilihan mereka, serta bertanggung jawab atas penggunaaan kebebasan
pribadinya.
Penanganan sebuah kasus dapat dipandang
sebagai upaya-upaya khusus untuk secara langsung menangani sumber pokok
permasalahan dengan tujuan utama teratasinya permasalahan yang dimaksudkan.
Imron Fauzi, 2008, Pemecahan Study Kasus Bimbingan dan Konseling, https://imronfauzi.wordpress.com,
diakses pada 17 Maret 2017.
Zainal
Abidin, 2013, Refleksi Masalah-masalah Sosial Keagamaan di Pedesaan, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, http://digilib.uin-suka.ac.id, diakses
pada 17 Maret 2017.
Habibi Zaman Riawan Ahmad, Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan umat,
Kementrian Agama RI, Jakarta, 2015.
Riza Amalia, 2012, Terapi Eksistensial Humanistik
dalam Mengatasi Siswa Putus Asa, Skripsi S1, Kearsipan Fakultas Tarbiyah,
IAIN Sunan Ampel Surabaya, http://digilib.uinsby.ac.id, diakses pada
17 Maret 2017.
Comments
Post a Comment