Sejarah dan Gerakan Kesehatan Mental Indonesia - Sejarah dan Gerakan Kesehatan Mental Indonesia
Sejarah dan Gerakan Kesehatan Mental Indonesia
2.1 Sejarah Perkembangan Kesehatan Mental
Sejarah kesehatan mental memang
tidak sejelas sejarah dari ilmu kedokteran, terutama karena masalah mental
bukan merupakan masalah fisik yang dengan mudah dapat diamati dan terlihat.
Orang yang mengalami gangguan mental sering kali tidak mudah terdeteksi,
sekalipun oleh anggota keluarganya sendiri. Hal ini dapat terjadi karena mereka
dengan keseharian hidup bersam sehingga perilaku-perilaku yang mengindikasikan
gangguan mental, dianggap hal yang biasa dan bukanlah sebagai gangguan. Faktor
budaya pun seringkali membuat masyarakatmemiliki pandangan tersendiri mengenai
orang yang menderita gangguan mereka.
Secara Historis, kajian kesehatan mental terbagi dalam dua periode, yaitu
pra-ilmiah dan periode ilmiah.
a. Periode Pra-Ilmiah
Sejak zaman dulu sikap terhadap gangguan kepribadian atau mental telah
muncul dalam konsep primitif animisme. Orang/individu primitif percaya bahwa
dunia diawasi dan dikuasai oleh roh-roh atau dewa-dewa yang tinggal dibenda-benda,
seperti ombak mengalun, batu berguling, pohon yang tumbuh dan lain-lain. orang
yunani percaya bahwa gangguan mental terjadi karena dewa marah dan membawa
pergi jiwanya. Untuk
menghindari kemarahannya maka mereka mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan
mantra dan korban.
Perubahan sikap terhadap animisme terjadi pada zaman Hipocrates (460-467).
Dia dan pengikutnya mengembangkan pandangan revolusioner dalam pengobatan, yaitu
dengan menggunakan pendekatan naturalisme, suatu aliran yang berpendapat bahwa
gangguan mental atau fisik itu merupakan akibat dari alam. Hipocrates menolak
pengaruh roh, dewa, setan ataupun hantu. Ide naturalistik ini kemudian
dikembangkan oleh Galen, seorang tabib dalam pembedahan hewan.
Dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan naturalistik ini tidak
dipergunakan lagi dikalangan orang-orang kristen. Seorang dokter perancis,
Philipe Pinel (1745-1826) menggunakan filsafat politik dan sosial untuk memecahkan
masalah penyakit mental. Dia telah terpilih menjadi kepala rumah sakit Bicetre
di Paris. Di rumah sakit ini, para pasiennya (yang maniac) dirantai, diikat di
tembok dan di tempat tidur. Para pasien yang dirantai selama 20 tahun atau
lebih, dan mereka dipandang sangat berbahaya dibawa jalan-jalan disekitar rumah
sakit. Akhirnya diantara mereka banyak yang berhasil, mereka tidak menunjukkan
lagi kecenderungan untuk melukai atau merusak dirinya sendiri.
b. Era Ilmiah
(Modern)
Perubahan yang sangat berarti dalam sikap dan era pengobatan gangguan
mental, yaitu dari animisme (irrasional) dan tradisional ke sikap dan cara yang
rasional (ilmiah), terjadi pada saat berkembangnya psikologi abnormal dan
psikiatri di Amerika Serikat, yaitu pada tahun 1783. Ketika itu Benyamin Rush
(1745-1813) menjadi anggota medis di rumah sakit Penisylvania. Di rumah sakit
ini ada 24 pasien yang dianggap sebagai lunaties (orang-orang gila atau
sakit ingatan). Pada waktu itu, pengetahuan tentang penyakit gangguan mental
dan bagaimana cara menyembuhkannya sangat sedikit dan kurang diketahui. Sebagai
akibatnya pasien-pasien dikurung dalam sel yang sedikit alat ventilasinya dan
sesekali mereka diguyur air. Rush melakukan usaha yang sangat berguna untuk
memahami orang-orang yang menderita gangguan mental tersebut dengan memberikan
dorongan (motivasi) untuk mau bekerja, rekreasi, dan mencari kesenangan.
Perkembangan psikologi abnormal dan psikiatri ini memberikan pengaruh
kepada lahirnya mental hygiene yang berkembang menjadi suatu body of
knowledge berikut gerakan-gerakan yang terorganisir. Perkembangan kesehatan
mental dipengaruhi oleh gagasan, pikiran dan definisi para ahli, dalam hal ini
terutama dari dua tokoh perintis, yaitu Dorothea Lynde Dix dan Clifford
Whittingham Beers. Kedua orang ini banyak mendedikasikan kehidupannya dalam
bidang pencegahan gangguan mental dan pertolongan bagi orang-orang miskin yang
lemah. Dorothea Lynde Dix lahir pada tahun 1802 dan meninggal dunia tanggal 17
juli 1887. dia adalah seorang guru sekolah di Massachussets, yang menaruh
perhatian terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental. Sebagian
perintis, selama 40 tahun dia berjuang untuk memberikan pengorbanan terhadap
orang-orang yang mengalami gangguan mentl secara lebih manusiawi. usahakan mula
diarahkan pada pasien di rumah sakit kemudian diperluas kepada para pasien di
rumah-ruah penjara. berkat usahanya yang tak kenal lelah, di Amerika didirikan
32 rumah sakit jiwa.
2.2 Awal Gerakan Kesehatan Mental
Awal dari gerakan kesehatan mental itu seperti psikologi yang
mempelajari hidup kejiwaan manusia dan mempunyai usia sejak adanya manusia.
Maka kesehatan jiwa itupun telah ada sejak beribu-ibu tahun yang lalu, tentunya
dengan bentuk pengetahuan yang sederhana. Akan tetapi menurut pendapat Hasan
Langgulung bahwa munculnya kesehatan mental itu justru lebih dulu daripada
psikologi, sebab manusia sudah menaruh perhatian pada kesehatan semenjak dahulu
kala, baik jasmani maupun rohani, walaupun perhatian itu mcam-macam.
Sebagai gerakan terorganisasi dengan berselubungkan nama baru, “mental
Hygiene”, baru berkembang sejak kurang lebih 50 tahun yang lalu. Namun pada
hakikatnya ilmu ini dapat dipandang sebagai penanaman baru bagi ilmu
pengetahuan yang menyelidiki masalah kehidupan manusia yang sudah ada sejak
ribuan tahun yang lampau, dan perkembangannya juga bersamaan dengan psikoatri
dan psikologi abnormal.
Dalam memahami penyakit mental, beratus-ratus tahun yang lalu, orang
menduga bahwa penyebab penyakit mental adalah syaitan-syaitan, roh-roh jahat dan
dosa-dosa. Oleh karena itu untuk
mengatasi penderitaannya, banyak yang dilakukan untuk menyembuhkannya, di
antaranya adalah dengan memasukkan dalam penjara-penjara gelap bawah tanah,
atau dihukum atau diikat erat dengan rantai besi yang berat dan kuat. Akhirnya
lambat laun ada usaha-usaha kemanusian yang mengadakan perbaikan dalam
menanggulangi orang-orang yang terganggu mentalnya.
2.3
Organisasi Kesehatan Mental Internasional
Pada tahun 1909, gerakan kesehatan mental secara formal mulai
muncul. Selama dekade 1900-1909, beberapa organisasi
kesehatan mental telah didirikan, seperti American Social Hygiene Associatin
(ASHA), dan American Federation for Sex
Hygiene.
Perkembangan gerakan-gerakan di bidang kesehatan mental ini tidak
lepas dari jasa Clifford Whittingham Beers (1876-1943). Bahkan, karena
jasa-jasanya itulah, dia dinobatkan sebagai ”The Founder Of The Mental
Hygiene Movement”. Dia terkenal karena pengalamannya yang luas dalam bidang pencegahan dan
pengobatan gangguan mental dengan cara yang sangat
manusiawi.
Dedikasi Beers yang begitu kuat dalam kesehatan mental dipengaruhi
oleh pengalamannya sebagai pasien di beberapa rumah sakit
jiwa yang berbeda. Selama di rumah sakit, dia mendapatkan pelayanan atau
pengobatan yang keras dan kasar (kurang manusiawi). Kondisi seperti ini terjadi karena pada masa
itu belum ada perhatian terhadap masalah gangguan mental, apalagi
pengobatannya.
Setelah dua tahun mendapatkan perawatan di rumah sakit, dia mulai
memperbaiki dirinya. Selama tahun terakhirnya sebagai pasien,
dia mulai mengembangkan gagasan untuk membuat gerakan untuk melindungi
orang-orang yang mengalami gangguan mental atau orang gila (insane). Setelah dia
kembali dalam kehidupan yang normal (sembuh dari penyakitnya), pada
tahun 1908, dia menindaklanjuti gagasannya dengan mempublikasikan tulisan
autobiografinya yang berjudul A Mind That Found It
Self. Kehadiran buku ini disambut baik oleh Willian James, sebagai
seorang pakar psikologi. Dalam buku ini, dia memberikan
koreksi terhadap program pelayanan, perlakuan atau ”treatment” yang
diberikan kepada para pasien di rumah sakit yang
dipandangnya kurang manusiawi. Di samping itu, dia merupakan reformator
terhadap lembaga yang memberikan perawatan
gangguan mental.
Beers meyakini bahwa penyakit atau gangguan mental dapat dicegah
atau disembuhkan. Dia merancang suatu program yang bersifat
nasional, yang tujuannya adalah:
1.
Mereformasi program perawatan dan pengobatan
terhadap pengidap penyakit jiwa;
2.
Melakukan penyebaran informasi kepada
masyarakat agar mereka memiliki pemahaman dan sikap yang positif terhadap para
pasien yang mengidap gangguan atau penyakit jiwa;
3.
Mendorong dilakukannya berbagai penelitian
tentang kasus-kasus dan obat gangguan mental; dan
4.
Mengembangkan praktik-praktik untuk mencegah
gangguan mental.
Program Beers ini ternyata mendapat respon positif dari kalangan
masyarakat, terutama kalangan para ahli seperti William James
dan seorang psikiatris ternama, Adolf Mayer. Begitu tertariknya terhadap
gagasan Beers, Adolf Mayer menyarankan untuk menamai gerakan itu dengan nama ”Mental Hygiene”.
Dengan demikian, yang mempopulerkan istilah ”Mental
Hygiene” adalah Mayer.
Belum lama setelah buku itu diterbitkan pada tahun 1908, sebuah
organisasi pertama didirikan, bernama ”Connectievt Society
For Mental Hygiene”. Satu tahu
kemudian, didirikanlah ”National Commite Society For Mental Hygiene”,
dan Beers diangkat menjadi sekretarisnya. Organisasi ini bertujuan:
1.
Melindungi kesehatan mental masyarakat;
2.
Menyusun standard perawatan para pengidap
gangguan mental;
3.
Meningkatkan studi tentang gangguan mental
dalam segala bentuknya dan berbagi aspek yang terkait dengannya;
4.
Menyebarkan pengetahuan tentang kasus gangguan
mental, pencegahan dan penobatannya; dan
5.
Mengkoordinasikan lembaga-lembaga perawatan
yang ada.
Terkait dengan perkembangan gerakan kesehatan mental ini, Deutsch
mengemukakan bahwa pada masanya dan pasca Perang Dunia I,
gerakan kesehatan mental ini mengkonsentarsikan programnya untuk membantu
mereka yang mengalami masalah serius. Setelah perang usai, gerakan kesehatan mental
semakin berkembang dan cakupan garapannya meliputi berbagai
bidang kegiatan, seperti pendidikan, kesehatan masyarakat, pengobatan umum,
industri, kriminologi, dan kerja sosial.
Secara hukum, gerakan kesehatan mental ini mendapatkan
pengukuhannya pada tanggal 3 Juli 1946, yaitu ketika presiden
Amerika Serikat menandatangani ”The National Mental Helath Act. Beberapa
tujuan yang terkandung dalam dokumen tersebut meliputi:
1. Meningkatkan
kesehatan mental seluruh warga masyarakat Amerika Serikat, melalui penelitian,
inevestigasi, eksperimen penanganan kasus-kasus, diagnosis dan pengobatan;
2. Membantu
lembaga-lembaga pemerintah dan swasta yang melakukan kegiatan penelitian dan
meningkatkan koordinasi antara para peneliti dalam melakukan kegiatan
penelitian dan meningkatkan kegiatan dan mengaplikasikan hasil-hasil
penelitiannya;
3. Memberikan
latihan terhadap para personel tentang kesehatan mental; dan
4. Mengembangkan
dan membantu negara dalam menerapkan berbagai metode pencegahan, diagnosis, dan
obat terhadap para pengidap gangguan mental.
Pada tahun 1950, organisasi kesehatan mental terus bertambah, yaitu
dengan berdirinya ”National Association For Mental
Health” yang bekerjasama dengan tiga
organisasi swadaya masyarakat lainnya, yaitu ”National Committee For Mental Hygiene”,
”National Mental Health Foundation”, dan ”Psychiatric
Foundation”. Gerakan kesehatan mental ini terus
berkembang sehingga pada tahun 1075 di Amerika Serikat terdapat lebih dari
seribu tempat perkumpulan kesehatan mental. Di belahan dunia lainnya,
gerakan ini dikembangkan melalui ”The World Federation For
Mental Health” dan “The
World Health Organization”.
2.3 Gerakan
Kesehatan Mental di Indonesia
Sementara untuk di
Indonesia sendiri Kesehatan Mental telah berkembang mulai dari zaman penjajahan
Belanda walupun belum didirikannya Rumah Sakit Jiwa. Pasien-pasien yang
dianggap memiliki gangguan kejiwaan di rawat di Rumah Sakit Umum itupun hanya
yang terbilang sudah kritis/parah. Pada tahun 1882 berdiri lah rumah sakit jiwa
pertama di Indonesia dan kemudian menyebar mulai dari RSJ di Lawang (1902), RSJ
di Magelang (1923), RSJ di Sabang (1927). Dahulu kala para pasien ditangani
dengan metode custodial care dan restraints atau dengan kata lain penjagaan
ketat dan pengikatan. Mereka dianggap berbahaya dan akan selalu menimbulkan
masalah jika dibiarkan bebas. Namun semenjak 1910 metode ini mulai dihindari
namun kesehatan mental sudah tidak terlalu diperhatikan pada zaman penjajahan
jepang. Akhirnya pada 1947 sesudah proklamasi didirikan jawatan urusan penyakit
jiwa walaupun belum berfungsi dengan baik. Pada 1966 pemerintah pun mentapkan
UU mengenai penyakit jiwa dan masuk tahun 1970-an mulai banyak juga pihak
swasta yang memikirkan tentang penyakit kejiwaan. Semua itu berkembang sampai
sekarang banyak ilmu yang mempelajari mengenai penyakit jiwa seperti dokter
ahli jiwa, psikiatri klinik, psikolog klinis.
Khusus untuk
masyarakat Indonesia, masalah kesehatan mental saat ini belum begitu mendapat
perhatian yang serius. Krisis yang saat ini melanda membuat perhatian terhadap
kesehatan mental kurang terpikirkan. Orang masih fokus pada masalah kuratif,
kurang memperhatikan hal-hal preventif untuk menjaga mental supaya tetap sehat.
Tingkat pendidikan yang beragam dan terbatasnya pengetahuan mengenai perilaku
manusia turut membawa dampak kurangnya
kepekaan masyarakat terhadap anggotanya yang mestinya mendapatkan pertolongan
di bidang kesehatan mental. Faktor budaya pun seringkali membuat masyarakat
memiliki pandangan yang beragam mengenai penderita gangguan mental.
Di Indonesia sejauh ini belum ada sebuah organisasi atau kelompok mantan
pasien gangguan jiwa atau keluarganya. Namun indikasi mengarah ke sana sudah
mulai tampak. Misalnya telah muncul beberapa buku yang memberikan gambaran
tentang pengalaman menjadi pasien gangguan jiwa. Salah satu diantaranya adalah buku yang berjudul Ratu Adil: Memoar Seorang Schizophrenia yang ditulis oleh Isvandiary
(2004). Buku ini mirip dengan beberapa artikel atau buku yang ditulis oleh para
konsumen di Amerika yang menggambarkan pengalaman-pengalaman ketika menjadi pasien gangguan
jiwa. Bedanya adalah bahwa tulisan para konsumen di Amerika pada umumnya
bertujuan untuk merubah atau memperbaiki system kesehatan jiwa, tetapi buku
Isvandiary ini lebih banyak merupakan dokumentasi dari pengalaman pribadi
penulis yang pernah mendapat diagnosa sebagai penderita schizophrenia. Di situ digambarkan bagaimana
prosesnya penulis mengalami gangguan jiwa, yang diawali dengan persoalan
keluarga dimana dia mendapat perlakuan yang tidak semestinya dari suaminya,
yang berujung pada perceraian. Bagian yang paling banyak dibahas dalam buku tersebut adalah mengenai berbagai
pengalaman penulis ketika mengalami schizophrenia. Bagaimana dia merasa dirinya
sebagai ratu adil, sebuah mitologi dalam masyarakat Jawa yang mirip dengan ide
Mesiahisme, dimana tokoh tersebut yang akan menyelamatkan masyarakat Jawa darai
berbgai persoalan. Selanjutnya penulis merasa bertemu dengan malaikat, tokoh-tokoh spiritual
seperti Budha atau tokoh film serial TV dari Cina, yaitu Sun Go Kong. Buku ini
sama sekali tidak menyentuh isu bagaiaman pelayanan dari dokter yang diberikan
ketika dia menjalani perawatan di beberapa Rumah Sakit Jiwa.
Mantan penderita schizophrenia yang lain yang menulis beberapa buku adalah
Bachril Hidayat Lubisyang menulis buku Trilogi Gilakah Aku?.Buku pertama
berjudul Aku Sadar Aku Gila. Buku ini menggambarkan proses kesembuhan penulis dari gangguan skizofrenik
paranoid yang dideritanya.
Sebagai seorang yang mendapat pendidikan tinggi di bidang psikologi dan latar belakang agama yang kuat,
proses kesembuhan penulis merupakan perjuangan pribadi yang panjang. Dia banyak menerapkan prinsip dan
nilai Islami yang dipadu dengan teknik-teknik psikologi. Misalnya semnagat kesembuhannya
itu sendiri ia alami setelah dia merenungkan isi Al Qur‘an surah ar-Rahman dalam
shalat Jumat di tahun 2004. Memoar keduanya yang berjudul Aku Tahu Aku Gila (Lubis,
2008). Buku ketiga masih dalam proses penyusunan yang berjudul Aku Bersyukur
Aku Gila.
Baik Isvandiary maupun
Bachril Hidayat berusaha memberikan gambaran mengenai gangguan jiwa
schizophrenia yang mereka derita. Kalau Isvandiary lebih banyak terfokus pada
pengalaman schizophrenianya yang penuh dengan delusi dan halusinasi yang unik
dan menarik, sehingga mirip sebagai sebuah novel.
Sementara itu buku
Bachril Hidayat lebih merupakan sebuah refleksi dan renungan-renungan penulis
dalam proses kesembuh dari gangguan schizophrenia. Kemungkinan perbedaan itu
selain karena latar belakang pendidikan yang berbeda, juga sifat gangguan
schizophrenia. Isvandiary mengalami gangguan schizophrenia murni karena faktor
psikologis sedangkan Bachril Hidayat karena penyalahgunaan zat psikoaktif.
. Dengan moto 'Wadah
untuk Memberdayakan dan Berkomunikasi Penderita Skizofrenia dengan Masyarakat' .
Yayasan ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
a.
Memberdayakan penderita skizofrenia agar dapat
memperoleh perhatian, perawatan, dan pengobatan yang layak serta perlindungan
hukum melalui kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap hasil karya
penderita skizofrenia.
b.
Menjadi wadah komunikasi serta saling dukung antar
penderita maupun keluarga.
c.
Mengurangi stigma yang selama ini ini diberikan oleh
masyarakat kepada penderita skizofrenia dengan cara melakukan penyebaran
informasi mengenai skizofrenia.
d.
Menjembatani komunikasi antar keluarga penderiat
dengan dokter atau psikiater.
e.
Menjadi sumber informasi bagi siapa saja yang
memerlukan informasi mengenai skizofrenia.
Hasan Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), Cet II
Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan
Mental dalam Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1989).
Indra Aditiyawarman, 2010, Sejarah Perkembangan
Gerakan Kesehatan Mental, Vol.4 No.1https://www.google.com/search?q=jurnal+sejarah+perkembangan+gerakan+kesehatan+mental&ie=utf-8&oe=utf-8#q=jurnal+indra+aditiyawarman, diakses pada 08 November 2016, pp.93
M.A. Subandi, Pemberdayaan Pasien Dan
Keluarga Gangguan Jiwa Di Indonesia, Http://Subandi.Staff.Ugm.Ac.Id/Files/2016/05/Pemberdayaan_Pasien_-Keluarga_Psikosis.Pdf, diakses pada 09 November 2016.
A.F Jaelani, “Penyucian Jiwa dan Kesehatan Mental”, (Jakarta: Amzah, 2000).
Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.
ReplyDelete