Peranan Agama Dalam Pernikahan - Peran Agama Dalam Keluarga - Peranan Agama Islam Dalam Keluarga
Peran Agama
dalam Perkawinan dan Keluarga
1.
Pengertian
Agama
Agama
secara mendasar dan umum dapat didefinisikan sebagai seperangk aturan dan
peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib (khususnya dengan
Tuhannya), mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur
hubungan manusia dengan lingkungannya.[1] Secara lebih khusus, agama dapat
didefinisikan sebagai suatu keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang
diwujudkan oleh kelompok atau masyarakat dalam menginterprestasi dan memberi
respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai gaib dan suci.[2] Adapun pengertian agama menurut
etimologi[3]:
a.
Dalam
bahasa arab agama disebut al-din. Dengan panjang mad pada “diin”, yang
mempunyai beberapa arti yaitu: a. Paksaan, kekuatan, dan tekanan, b. Ketaatan,
kepatuhan, atau peribadatan c. Pembalasan atau perhitungan d. Sistem atau cara.
(Nasution 1979b, jld I:1-2, Wahbah et.al 1971:98).
b.
Agama
berasal dari kata sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun
dari dua kata yaitu, a = tidak, dan gam = pergi, jadi tidak pergi, tetap di
tempat, diwarisi turun-temurun. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa gam berarti
tuntunan. Agama mengandung ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.[4]
Agama dalam pandangan sosiologis
memiliki definisi mengenai agama yang sangat bergantung kepada konsep ketuhanan
(divinity) atau hal supernatral atau spiritual. Tylor, misalnya berpendapat
bahwa definisi agama adalah kepercayaan kepada wujud spiritual (the belief in
spiritual beings). Sedangkan menurut Emile Durkheim (1966) memandang agama
sebagai satu sistem yang terintegrasi antara kepercayaan dan praktik suci.[5]
2.2 Pengertian
Perkawinan
a. Menurut
Duvall dan Miller (1985) menjelaskan bahwa pernikahan adalah hubungan pria dan
wanita yang diakui secara sosial, yang ditujukan untuk melegalkan hubungan
seksual, melegtimasi membesarkan anak, dan membangun pembagaian peran di antara
sesama pasangan.[6]
b. Menurut
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 1 merumuskan
pengertian perkawinan adalah sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ataucrumah tangga
yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perjanjian dalam
perkawinan ini mengandung tiga karakter yang khusus[7], yaitu:
1. Perkawinan
tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.
2. Kedua belah
pihak yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk
memustuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada
hukum-hukumnya.
3. Persetujuan
perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
Perkawinan menurut agama Islam,
ialah pelaksanaan peningkatan dan penyempurnaan ibadah kepada Allah dalam
hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang ditakdirkan oleh Allah
satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk
memenuhi nalurinya dalam hubungan seksual, untuk melanjutkan keturunan yang sah
serta keadilan dan kedamaian baik di dalam kehidupan di dunia maupun di
akhirat.[8] Adapun rukun perkawinan dalam agama Islam terdiri dari:
1.
Adanya
calon suami dan isteri
2.
Adanya
wali dan colon isteri
3.
Adanya
dua orang saksi laki-laki Islam
4.
Adanya
ijab-qabul.
Adapun syarat-syarat sebuah perkawinan yaitu:
1.
Adanya
persetujuan dari kedua calon suami isteri dan wali calon isteri
2.
Beragama
Islam, cukup dewasa dan sehat pikirannya.
3.
Tidak
ada hubungan kekeluargaan sedarah yang terlampau dekat.
4.
Tidak
ada hubungan sepersusuan
5.
Calon
isteri tidak terikat dalam suatu tali perkawinan
6.
Tidak
ada perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri.
2.3 Tujuan
Pernikahan
Berbicara
mengenai tujuan dalam pernikahan memang merupakan hal yang tidak mudah, karena
masing-masing individu akan mempunyai tujuan yang mungkin berbeda satu sama
lain. Menyatukan tujuan dari dua pemikiran yang berbeda memang bukan hal yang
mudah. Maka dalam sebuah pernikahan tujuan tersebut harus dibulatkan agar
terdapat satu kesamaan dalam tujuan tersebut. dalam pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan jelas disebutkan, bahwa tujuan dari pernikahan adalah membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.[9] Tujuan yang tidak sama akan menyebabkan sumber permasalahan bagi
pasangan suami isteri. Oleh karena itu, tujuan yang sama harus benar-benar
diresapi oleh anggota pasangan dan harus disadari bahwa tujuan itu akan dicapai
secara bersama-sama, bukan hanya oleh isteri atau suami saja. Tanpa adanya
kesatuan tujuan di dalam keluarga, dan tanpa adanya kesadaran bahwa tujuan itu
harus dicapai bersama-sama, maka dapat dibayangkan bahwa keluarga itu akan
mudah mengalami hambatan-hambatan, yang akhirnya akan dapat menuju keretakkan
keluarga yang dapat berakibat lebih jauh. Karena itu, tujuan merupakan titik
tuju bersama yang akan diusahakan untuk dapat dicapai bersama-sama.
2.4 Pengertian
Keluarga
Keluarga adalah
lembaga sosial yang sangat fundamental dan utama. Sebagai sebuah lembaga
sosial, keluarga adalah unit dasar terbentuknya satu kekerabatan, hubungan
darah atau keturunan, hubungan perkawinan, yang di dalamnya terdapat
seperangkat nilai, norma, kesepakatan yang menggambarkan struktur kekerabatan
dan hubungan-hubungan. Keluarga adalah lembaga sosial yang memiliki seperngkat
aturan yang menentukan komposisi dan operasional keluarga.[10]
Keluarga adalah
faktor utama dalam proses terbentuknya dan berkembangnya masyarakat, sehingga
ia tidak hanya semata-mata dilihat sebagai wadah pemenuhan kebutuhan seksual.
Adapun aspek-aspek keluarga dalam masyarakat adalah[11]:
a.
Bayi
dan anak-anak membutuhkan pengasuhan dan pemeliharaan (dalam hal makanan, gizi,
kebersihan) serta perlindungan.
b.
Sejak
dini, anak-anak harus mendapatkan sosialisasi untuk menemukan
kebutuhan-kebutuhan pribadi sehingga tercukupi.
c.
Sejak
dini, anak-anak harus mendapatkan sosialisasi untuk menemukan bentuk-bentuk
interaksi dan hubungan dalam kelompok.
d.
Anak-anak
membuthkan dukungan emosional dan petunjuk dalam pembentukkan citranya dan
kepercayaan diri.
2.5 Fungsi Keluarga
Pada
dasarnya keluarga dapat dibedakkan menjadi dua, yakni keluarga batih (conjugal
family) dan keluarga kerabat (consanguine family).
Keluarga
dianggap sangat penting dan menjadi pusat perhatian kehidupan individu, maka
dalam kenyataannya fungsi keluarga pada semua masyarakat adalah sama. Secara
rinci, beberapa fungsi dari keluarga adalah[12] :
1.
Fungsi
pengaturan keturunan
Fungsi
reproduksi ini merupakan hakikat untuk kelangsungan hidup manusia sebagai dasar
kehidupan sosial manusia dan bukan hanya sekedar kebutuhan biologis saja.
Fungsi ini didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sosial, misalnya dapat
melanjutkan keturunan, dapat mewariskan harta kekayaan, serta pemeliharaan pada
hari tuanya.
2.
Fungsi
sosialisasi atau pendidikan.
Fungsi
ini adalah untuk mendidik anak mulai dari awal pertumbuhan anak hingga
terbentuk personality-nya. Anak-anak itu lahir tanpa bekal sosial, agar
si anak dapat berpartisipasi maka harus disosialisasi oleh orang tuanya tentang
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
3.
Fungsi
ekonomi atau unit produksi
Urusan-urusan
pokok untuk mendapatkan suatu kehidupan dilaksanakan keluarga sebagai unit-unit
produksi yang sering kali dengan mengadakan pembagian kerja diantara anggota-anggotanya.
Jadi keluarga, bertindak sebagai unit yang terkoordinir dalam produksi ekonomi.
4.
Fungsi
pelindung atau proteksi
Fungsi
ini adalah melindungi seluruh anggota keluarga dari berbagai bahaya yang
dialami oleh suatu keluarga.
5.
Fungsi
pemenuhan status
Jika
dalam masyakarat terdapat perbedaan status yang besar, maka keluarga akan
mewariskan statusnya pada tiap-tiap anggota atau individu sehingga tiap-tiap
anggota keluarga mempunyai hak-hak istimewa.
6.
Fungsi
pemeliharaan
Keluarga
pada dasarnya berkewajiban untuk memelihara anggota-anggota yang sakit,
menderita dan tua.
7.
Fungsi
afeksi
Salah satu kebutuhan dasar
manusia adalah kebutuhan akan kasih
sayang dan rasa dicintai. Dan artinya, keluarga berfungsi sebagai wujud kasih
sayang dan rasa cinta.
2.6 Peran Agama
dalam Perkawinan dan Keluarga
Peranan agama
Islam dalam sebuah perkawinan adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang
mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tujuannya adalah untuk
menghalalkan hubungan secara suka rela dan ada kerelaan antara kedua belah
pihak. Dani merupakan satu kebahagiaan dalam hidup berkeluarga yang dilakukan
denganpenuh rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang
telah di ridhoi oleh Allah SWT. Hakekat perkawinan sendiri adalah ikatan lahir
batin suami isteri untuk hidup bersama dan memiliki tujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan sejahtera.[13]
Dengan adanya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tercermin dalam agama
yang dianutnya, maka akan memberikan tuntunan dan bimbingan kepada orang yang
memeluknya. Agama akan menuntun ke hal-hal yang baik dan menghindari perilaku
tercela. Demikian pula jika agama dikaitkan dengan perkawinan, maka agama yang
dianut oleh masing-masing anggota pasangan akan memberikan tuntunan dan bimbingan
bagaimana bertindak secara baik. Dengan agama atau kepercayaan yang kuat,
keadaaan ini akan dapat digunakan sebagai benteng yang tangguh untuk
menanggulangi perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji.
Dalam
perkawinan yang disyariatkan agama Islam mempunyai beberapa segi, diantaranya
adalah:
a.
Segi
ibadah
Perkawinan
menurut agama Islam mempunyai unsur-unsur ibadah. Melaksanakan perkawinan
berarti melaksanakan sebahagian dari ibadahnya dan berarti pula telah
menyempurnakan sebahagian dari agamanya. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang
siapa yang telah dianugerahi Allah isteri yang shalehah, maka sesungguhnya
ia telah mengusahakan sebahagaian dari
agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah pada sebahagian yang lain”. (HR.
Thabrani dan Al Hakim dan dinyatakan shaheh dan sunatnya)
b.
Segi
hukum
Perkawinan yang menurut disyariatkan agama Islam merupakan suatu
perjanjian yang sangat kuat, sebagaimana Firman Allah SWT:
“Bagaimana kamu akan mengambil harta yang telah kamu berikan kepada
bekas isterimu, padahal sebagian dari kamu telah bercampur (bergaul) dengan
yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isteri) telah mengambil dari
kamu janji yang sangat kuat”. (QS. An-Nisa: 21)
c.
Segi
sosial
Hukum
Islam memberikan kedudukan sosial yang tinggi kepada wanita (isteri) setelah
dilakukan perkawinan, ialah dengan adanya persyaratan bagi seorang suami untuk
kawin lagi dengan isterinya yang lain, tidak boleh suami mempunyai isteri lebih
dari empat, adanya ketentuan hak dan kewajiban suami dan isteri dalam rumah
tangga, dan sebagainya. Perkawinan dilakukan untuk membentuk keluarga yang
dilakukan untuk membentuk keluarga keluarga yang diliputi rasa saling cinta
mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga.
Keluarga-keluarga yang seperti inilah yang merupakan batu bata, semen, pasir,
kapur dan sebagainya dari hubungan umat yang dicita-citakan oleh agama Islam.
Karena itu Rasulullah SAW melarang kerahiban, hidup menyendiri dengan tidak
kawin yang menyebabkan hilangnya keturunan, keluarga dan melenyapkan umat.
Agama
Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai suatu basis suatu
masyarakat yang baik dan teratur sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh
ikatan lahir saja tetapi di ikat juga dengan ikatan batin dan jiwa. Menurut
ajaran agama Islam perkawinan itu tidaklah hanya sebagai suatu persetujuan bisa
melainkan merupakan suatu persetujuan suci, dimana kedua belah pihak dhubungkan
menjadi pasangan suami isteri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya
dengan mempergunakan nama Allah. Tujuan dan hikmah perkawinan ialah:
Islam
juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk
merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek
kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan
mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam. Tujuan perkawinan
ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman:
“ Allah telah menjadikan dari diri diri kamu itu pasangan suami
isteri dan menjadi bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki
yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah?” (An-Nahl:72).
Dan yang
terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi
berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak
yang shalih dan bertaqwa kepada Allah. tentunya keturunan yang shalih tidak
akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. oleh karena itu
suami isteri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya
ke jalan yang benar.
a.
Menghalalkan
hubungna kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan
b.
Mewujudkan
suatu keluarga dengan dasar cinta kasih
c.
Memperoleh
keturunan yang sah
d.
Menjaga
manusia dari kejahatan dan kerusakan
e.
Menumbuhkan
aktivitas dalam berusaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa
tanggung jawab
a.
Untuk
memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketentraman
b.
Memelihara
kesucian diri
c.
Melaksanakan
tuntutan syariat
d.
Menjaga
keturunan
e.
Sebagai
media pendidikan
f.
Mewujudkan
kerjasama dan tanggung jawab
g.
Dapat
mempererat tali silaturahmi silaturahim.
Menurut
Islam, kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat
penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha
untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami akan terwujud. Tetapi
dalam pandangan islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlaq
seseorang, bukan status sosia, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama
derajat seseorang baik orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada
perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya.
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al-Hujuraat:13).
DAFTAR PUSTAKA
Yusron Razak
& Ervan Nurtawaban, Antropologi Agama, Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2007.
Yusron Razak, Sosiologi
Sebuah Pengantar (Tujuan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam), Jakarta:
Laboratorium Sosiologi Agama, 2008.
Sarlito Sarwono
& Eko Meinarno, Psikologi Sosial, Jakarta: Salemba Humanika, 2009.
Gugum Gumilar
Gunawan, Cara Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam, (Jakarta: Pustaka Litera
Antar Nusa, 2006).
Sulaiman
Rasyid, Fikh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996).
Achmad Kuzari, Nikah
Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000).
Comments
Post a Comment